Wednesday, July 9, 2014

tafsir surat al quraisy


Ayat 1 لِإِيلَافِ قُرَيْشٍ (1) Li'īlāfi Qurayshin Karena kebiasaan orang-orang Quraisy. Ayat pertama dari surat Quraisy ini diturunkan di Madinah, sehingga tergolong ayat-ayat Madani. 1. Allah Swt dengan menghancurkan Ashab Fil (Pasukan Gajah) telah menjadikan kabilah Quraisy kuat demi melanjutkan kehidupannya sesuai dengan tradisi sebelumnya. Li'īlāfi Qurayshin Surat ini memiliki hubungan erat dengan surat al-Fil, sehingga sebagian ahli tafsir menganggap dua surat ini sebagai satu surat, bahkan sebagian tidak membolehkan pembacaan kedua surat ini dengan terpisah, tapi harus dibaca bersama. Dengan demikian, ayat Li Ilaaf merupakan sebab bagi ayat Faja'alahum Ka'ashfin Ma'kul... (lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat). Yakni, Allah menghancurkan pasukan Abrahah agar Quraisy dapat melanjutkan tradisinya. 2. Kabilah Quraisy telah terbiasa memiliki program yang teratur dalam kehidupannya. Li'īlāfi Qurayshin Kata Ilaf memiliki banyak arti seperti terbiasa dan membiasakan (Qamus), tersedia dan menyediakan (Taj al-‘Arus), perjanjian dan memberikan keamanan (Nihayah Ibnu Katsir). Pemahaman yang ada diambil dari makna pertama. Sesuatu yang telah terbiasa dilakukan oleh kabilah Quraisy adalah bepergian di musim panas dan dingin. Kebiasaan ini sesuai dengan arti pertama. Bila dimaknai dengan arti pertama, maka Allah menjadi subyek dari kata kerja Ilaf, dimana tidak disebutkan dalam kalimat ini, sementara Quraisy dan Rihlah atau perjalanan menjadi obyek pertama dan kedua. 3. Cara hidup Quraisy dan bagaimana mereka memenuhi kebutuhan sehari-harinya akan hancur bila pasukan Abrahah memenangkan perang. Li'īlāfi Qurayshin 4. Kabilah Quraisy telah menguasai Mekah sebelum datangnya Islam. Li'īlāfi Qurayshin Kabilah Quraisy membela kota Mekah dari serangan musuh. Dengan demikian ini merupakan satu kelebihan kabilah Quraisy. Karena bila tidak ada mereka, maka sudah barang tentu Mekah dikuasai musuh. 5. Pada dasarnya, ketika Allah Swt menggagalkan serangan Ashab Fil, kabilah Quraisy selamat dari kehancuran. Li'īlāfi Qurayshin 6. Allah Swt memberikan perhatian khusus kepada kabilah Quraisy. Li'īlāfi Qurayshin 7. Kehancurkan Ashab Fil menjadi sebab semakin kuatnya hubungan Quraisy dengan kota Mekah, sehingga mereka memilih tinggal di sana. Li'īlāfi Qurayshin Ayat selanjutnya atau tafsir ayat ini merupakan pengulangan ayat sebelumnya atau penyebutan khusus setelah umum yang berarti ini merupakan kebiasaan lain selain kebiasaan sebelumnya melakukan perjalanan di musim panas dan dingin. Sementara hubungan ayat ini dengan surat sebelumnya al-Fil menjelaskan bahwa berlanjutnya hubungan Quraisy dan Mekah merupakan sesuatu yang penting bagi keumuman makna Ilaf Quraisyin. 8. Ka'bah merupakan alat pemersatu, penjamin keamanan dan pemasukan bagi Quraisy. Li'īlāfi Qurayshin Bila kata Ilaf dalam ayat ini bersifat umum dan pada ayat selanjutnya bersifat khusus, maka dapat dikatakan bahwa dalam ayat ini juga memberikan perhatian pada solidaritas yang dilakukan oleh anggota kabilah Quraisy. 9. Sikap Quraisy memilih tetap hidup dengan kebiasaan lamanya pada hakikatnya nikmat ilahi dan patut disyukuri. Li'īlāfi Qurayshin Bila dianggap bahwa surat Quraisy sebagai surat yang berdiri sendiri dan tidak tergabung dengan surat al-Fil, maka huruf Lam pada kata Li Ilaf terkait dengan kata Falya'budu yang berada pada ayat ketiga dari surat ini. Dalam kondisi yang demikian, maka kandungan ayat ini menjadi, "Dikarenakan Allah telah memberikan nikmat Ilaf kepada Quraisy, maka sudah seharusnya mereka menghambakan dirinya kepada Allah. Karena ibadah atas nikmat yang diberikan merupakan bentuk syukur dan terima kasih. Ayat 2 إِيلَافِهِمْ رِحْلَةَ الشِّتَاءِ وَالصَّيْفِ (2) ‘Īlāfihim Riĥlata Ash-Shitā'i Wa Aş-Şayfi (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas. Ayat kedua dari surat Quraisy ini diturunkan di Madinah, sehingga tergolong ayat-ayat Madani. 1. Sesuai dengan tradisi lamanya, kabilah Quraisy di musim panas bepergian ke daerah yang lebih sejuk, sementara di musim dingin mencari daerah yang lebih hangat. ‘Īlāfihim Riĥlata Ash-Shitā'i Wa Aş-Şayfi Kata Rihlah yang berarti orang atau yang dikendarai melewati jalan merupakan obyek dari kata Ilaf dan kata ganti orang ketiga pada Ilafihim sebagai subyeknya. Maksud dari ayat ini adalah Quraisy punya tradisi bepergian di dua musim ini. Pada musim dingin mereka bepergian ke Yaman dan di musim panas ke Syam dalam rangka berdagang. 2. Quraisy membutuhkan keamanan dalam perjalanan ke tempat yang lebih sejuk dan hangat. Li'īlāfi Qurayshin. ‘Īlāfihim Riĥlata Ash-Shitā'i Wa Aş-Şayfi 3. Amannya perjalanan di musim dingin dan panas bagi Quraisy merupakan nikmat ilahi dan patut disyukuri oleh mereka. ‘Īlāfihim Riĥlata Ash-Shitā'i Wa Aş-Şayfi Pemahaman ini didapat dengan memisahkan surat Quraisy dari surat al-Fil. Dengan demikian, ayat ini sama seperti ayat sebelumnya terkait dengan kata kerja Falya'budu yang berada di ayat selanjutnya. Yakni, bila tradisi bepergian ini terus berlanjut, maka Quraisy harus menyembah Allah. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, kelaziman penghambaan atas pemberian nikmat adalah mensyukurinya. 4. Serangan Ashab al-Fil ke Mekah mengancam karavan dagang Quraisy yang biasa bepergian di musim dingin dan panas. ‘Īlāfihim Riĥlata Ash-Shitā'i Wa Aş-Şayfi 5. Allah Swt menghancurkan pasukan Abrahah dan itu menjamin keamanan perjalanan Quraisy di dua musim tersebut. ‘Īlāfihim Riĥlata Ash-Shitā'i Wa Aş-Şayfi 6. Menghormati Ka'bah dan penduduknya bagi warga yang berada di jalur perjalanan karavan Quraisy dikarenakan adanya bantuan Allah terhadap Ka'bah di tahun Gajah. ‘Īlāfihim Riĥlata Ash-Shitā'i Wa Aş-Şayfi Jaminan keamanan bagi karavan dagang Quraisy dengan cara menghancurkan pasukan Abrahah dapat menjadi alasan bahwa kabilah-kabilah yang berada di jalur perjalanan dagang Quraisy begitu menghormati Ka'bah dan Quraisy, pasca peristiwa serangan pasukan Abrahah. Ayat 3 فَلْيَعْبُدُوا رَبَّ هَذَا الْبَيْتِ (3) Falya`budū Rabba Hādhā Al-Bayti Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka'bah). Ayat ketiga dari surat Quraisy ini diturunkan di Madinah, sehingga tergolong ayat-ayat Madani. 1. Quraisy harus mewajibkan dirinya menyembah Allah. Falya`budū Rabba Hādhā Al-Bayti 2. Allah Swt pemilik Ka'bah dan pengelolanya. Rabba Hādhā Al-Bayti Kata Rabb pada dasarnya berarti pendidikan atau tarbiyah (Mufradat ar-Raghib). Tapi kata ini juga memiliki arti pemilik dan pengelola (Lisan al-Arab). 3. Kepemilikan Allah atas Ka'bah dan pengelolaan-Nya menjadi bukti yang mewajibkan Quraisy untuk beribadah kepada-Nya. Falya`budū Rabba Hādhā Al-Bayti 4. Allah telah menyiapkan sarana bagi Quraisy untuk bepergian di musim panas dan dingin. Hal ini menjadi bukti sempurna bagi mereka untuk beribadah kepada Allah. Li'īlāfi Qurayshin, ‘Īlāfihim Riĥlata Ash-Shitā'i Wa Aş-Şayfi, Falya`budū Pemahaman ini diambil dari huruf Lam pada kata Li Ilaf, baik huruf itu berhubungan dengan surat al-Fil atau Falya'budu. 5. Beribadah kepada Allah adalah mensyukuri nikmat-Nya. Li'īlāfi Qurayshin, ‘Īlāfihim Riĥlata Ash-Shitā'i Wa Aş-Şayfi, Falya`budū Huruf Fa pada kata Falya'budu menunjukkan keharusan ibadah berasal dari nikmat Ilaf (kebiasaan bepergian). Setiap pekerjaan yang dilakukan manusia setelah mendapatkan sebuah nikmat agar tetap ada padanya dengan sendirinya merupakan syukur atas nikmat itu. 6. Sikap bersyukur Quraisy kepada Allah atas nikmat keamanan yang dirasakan adalah menghambakan dirinya kepada Allah. ‘Alam Tará Kayfa Fa`ala Rabbuka Bi'aşĥābi Al-Fīl ... Falya`budū 7. Ka'bah merupakan manifestasi Rububiyah Allah dan simbol penghambaan kepada-Nya. Falya`budū Rabba Hādhā Al-Bayti 8. Ka'bah merupakan rumah mulia dan milik Allah. Rabba Hādhā Al-Bayti Kata penunjuk Hadza sesuai dengan kontek ayat ini berarti pengagungan.

tafsir surat an nahl 7-11


Ayat ke 7-8 وَتَحْمِلُ أَثْقَالَكُمْ إِلَى بَلَدٍ لَمْ تَكُونُوا بَالِغِيهِ إِلَّا بِشِقِّ الْأَنْفُسِ إِنَّ رَبَّكُمْ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ (7) وَالْخَيْلَ وَالْبِغَالَ وَالْحَمِيرَ لِتَرْكَبُوهَا وَزِينَةً وَيَخْلُقُ مَا لَا تَعْلَمُونَ (8) Artinya: Dan ia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup sampai kepadanya, melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang memayahkan) diri. Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. (16: 7) Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. Dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya.(16: 8) Pada pembahasan yang lalu telah dijelaskan bahwa setelah mengungkapkan tentang penciptaan langit, bumi dan manusia, Allah Swt menerangkan soal penciptaan binatang dan manfaatnya bagi kehidupan manusia. Ayat-ayat ini adalah kelanjutan dari ayat-ayat sebelumnya yang menyinggung soal manfaat dari penciptaan binatang. Di masa lalu, transportasi dan pengangkutan barang-barang dilakukan dengan menggunakan binatang ternak. Pada zaman kinipun meski sudah ada mobil, pesawat dan kereta api, binatang ternak masih digunakan sebagai sarana transportasi dan untuk mengangkut barang. Di daerah pegunungan sarana yang bisa digunakan untuk mengangkut dan membawa barang hanyalah binatang khususnya keledai. Yang menarik di zaman modern ini kuda masih dipandang sebagai kenderaan yang memiliki nilai perhiasan dan kemewahan. Dari dua ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:‎ 1. Berkat kemurahan dan kebijaksanaan Allah, Dia telah menjadikan binatang yang secara fisik lebih kuat dari manusia tunduk dan patuh kepada manusia. Sehingga makhluk keturunan Adam ini dapat menunggangi dan memanfaatkan tenaga binatang. 2. Allah memiliki kekuasaan yang luas tak terbatas. Dia menciptakan apa saja yang dikehendaki-Nya. Ayat ke 9 وَعَلَى اللَّهِ قَصْدُ السَّبِيلِ وَمِنْهَا جَائِرٌ وَلَوْ شَاءَ لَهَدَاكُمْ أَجْمَعِينَ (9) Artinya: Dan hak bagi Allah (menerangkan) jalan yang lurus, dan di antara jalan-jalan ada yang bengkok. Dan jikalau Dia menghendaki, tentulah Dia memimpin kamu semuanya (kepada jalan yang benar).(16: 9) Ayat ini kembali mengingatkan akan nikmat-nikmat yang Allah berikan kepada hamba-hamba-Nya, termasuk nikmat hidayah dan petunjuk kepada jalan yang benar. Allah dalam ayat ini berfirman bahwa di hadapan manusia terbentang dua jalan. Pertama adalah jalan yang dihamparkan Allah kepada manusia yaitu jalan kesederhanaan dan jalan tengah yang membawa manusia kepada tujuan yang benar lewat sirath mustaqim. Jalan yang kedua adalah jalan menyimpang yang membawa manusia ke arah kesesatan. Siapa saja yang berlalu di jalan ini akan terjebak dalam mala petaka dan tak akan sampai ke tujuan yang benar. Setiap orang harus memilih dari kedua itu jalan manakah yang akan dia lalui. Allah Swt tidak pernah memaksa hambaNya untuk memilih jalan petunjuk dan hidayah ilahi. Sebab paksaan tidak akan ada gunanya. Allah Swt telah memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk memilih. Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:‎ 1. Di antara hal yang oleh Allah dipandang sebagai keharusan bagi-Nya adalah memberi petunjuk dan hidayah kepada hamba-hamba-Nya. Namun manusialah yang harus memilih maukah ia menerima hidayah atau tidak? 2. Kebebasan dalam memilih telah diberikan kepada manusia dan inilah yang diinginkan oleh Allah Swt. Karena itu, tidak berhak untuk memaksa siapapun agar mengikuti Islam dan jalan petunjuk. Ayat ke 10-11 هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لَكُمْ مِنْهُ شَرَابٌ وَمِنْهُ شَجَرٌ فِيهِ تُسِيمُونَ (10) يُنْبِتُ لَكُمْ بِهِ الزَّرْعَ وَالزَّيْتُونَ وَالنَّخِيلَ وَالْأَعْنَابَ وَمِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَةً لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (11) Artinya: Dialah, Yang telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu, sebahagiannya menjadi minuman dan sebahagiannya (menyuburkan) tumbuh-tumbuhan, yang pada (tempat tumbuhnya) kamu menggembalakan ternakmu.(16: 10) Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun, korma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan.(16: 11) Dua ayat ini menjelaskan nikmat Allah yang paling inti bagi kelangsungan hidup di muka bumi yaitu air hujan. Allah berfirman bahwa Allah-lah yang menurunkan air hujan untuk kalian. Air inilah yang menjadi sumber kehidupan bagi makhluk hidup di bumi. Dari air hujan yang membasahi tanah dan masuk ke dalamnya, tumbuh segala macam jenis tanaman dan pohon, yang menghasilkan buah-buahan dan makanan untuk manusia dan binatang. Jika kalian merenungkan nikmat ini, tentu kalian akan menyadari bahwa air adalah kebesaran dan keagungan serta rahmat Allah. Dalam ayat ini Allah menyebutkan beberapa contoh buah-buahan yaitu korma, anggur dan zaitun yang ketiganya oleh para pakar makanan adalah buah yang sangat bermanfaat bagi tubuh melebihi buah-buahan lainnya. Dari dua ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:‎ 1. Air hujan adalah sumber kehidupan. Air menumbuhkan tanaman yang menjadi makanan bagi manusia. Sebab makanan manusia terdiri dari dua hal; tumbuh-tumbuhan atau dari daging hewan. Keduanya sangat tergantung pada air yang turun dari langit. Kekeringan akan menyebabkan paceklik dan kekurangan pangan. 2. Manusia harus merenung dan memikirkan alam sehingga ia bisa menyaksikan bahwa dibalik proses alamiah yang terjadi, ada tangan ghaib Yang Maha berkuasa. Tumbuhnya tanaman dan buah-buahan bukan pekerjaan petani. Semua itu diciptakan untuk manusia dan karena itu manusia harus beramal untuk kerdihaan Allah

أحكام المد

أحكام المد

الـمـد: هو إطـالـة زمـن جـريان الصـوت بـحـرف الـمـد.

حروف الـمد:

  • الألف الساكنة المفتوح ما قبلها :  َ ا
  • الواو الساكنة المضموم ما قبلها:  ُ و
  • الياء الساكنة المكسور ما قبلها:  ِ ي

أ - أقسام الـمد:

1- المد الطبيعي أو الأصلي:

هو ما لا تقوم ذات الحرف إلا به، ولا يتوقف على سبب همز بعده أو سكون، ومقدار مده حركتان، ولا يجوز الزيادة أو النقصان عن الحركتين. 

مثال صوتي : 

اضغط هنا للإستماع

كما في قوله تعالى { يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا } ( سورة الأحزاب الآية:70) . 

2- المد الفرعي:

هو ما زاد على المد الأصلي، ويكون بسبب اجتماع حرف المد بهمز بعده أو سكون.

أنواع الـمد الفرعي:

1-  المد بسبب الهمز:

أ- إن كان الهمز قبل حرف المد فيسمى مد البدل: وسمي بدلاً لأن حرف المد فيه بُدل من الهمزة الساكنة.

مثاله : {ءامنوا}، {أيماناً}، {أُوتوا}.

ب- إن كان الهمز بعد حرف المد: فهو نوعان : المد المتصل والمد المنفصل:

1- المد المتصل : هو أن يأتي حرف المد والهمز بعده في كلمة واحدة ويسمى المد الواجب المتصل. ويمد خمس حركات.

مثاله : {إذا جآءَ نصر الله والفتح}، {وأحاطت به خطيئته}، {سُوءَ العذاب}.

مثال صوتي : 

اضغط هنا للإستماع

كما في قوله تعالى { وَالسَّمَاءِ وَمَا بَنَاهَا } (سورة الشمس الآية: 5).
 

2- المد المنفصل : هو أن يأتي حرف المد في آخر كلمة، والهمز بعده في كلمة أخرى تليها، ويسمى المد الجائز. ويمد خمس حركات، ونستطيع أن نقصره إلى حركتين.

مثاله: {يا أيها}، {الذي أنزل}، {توبوآ إلى الله}.

 مثال صوتي : 

اضغط هنا للإستماع

  كما في قوله تعالى { قَالُوا آمَنَّا بِرَبِّ الْعَالَمِينَ } (سورة الأعراف الآية: 121)  

ملاحظة : يمنع مد الألف في كلمة ( أنا ) حيثما وجد إلا في حالة الوقف، نحو: {قال أنا أحي وأميت}، {وأنا أعلم}.

 

2- المد بسبب السكون : وهو نوعان :

أ- سكون عارض :

وهو أن يكون الحرف قبل الأخير من الكلمة حرف مد، والحرف الأخير متحرك، فإن درجنا الكلام ووصلنا الكلمة بما بعدها كان المد طبيعياً، وإن وقفنا على الحرف الأخير بالسكون صار المد الذي قبل الحرف الأخير مداً بسبب السكون العارض ويسمى: مداً عارضاً للسكون.

يمد ست حركات، أو أربع، أو حركتان .

مثاله: {إن الله شديد العقاب}، {قد أفلح المؤمنون}. {الحمد لله رب العالمين}.

 مثال صوتي : 

اضغط هنا للإستماع

  كما في قوله تعالى  {الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ} (سورة الفاتحة الآية: 2)  

ب- سكون لازم :

وهو أن يأتي بعد حرف المد سكون لازم وصلاً ووقفاً في كلمة واحدة، ومقدار مده ست حركات. وهو نوعان :

1- كلمي : وهو أن يأتي بعد حرف المد حرف ساكن في كلمة.

- فإن أدغم (أي كان الحرف الذي بعد المد مشدداً) فيسمى مثقلاً.

نحو: {ولا الضآلّين}، {الحآقّة}، {دابّة}.

مثال صوتي : 

اضغط هنا للإستماع

  كما في قوله تعالى { الْحَاقَّةُ  * مَا الْحَاقَّةُ } (سورة الحاقة الآية: 1-2)

- ويلحق به مد الفرق، وهو عندما تدخل همزة الاستفهام على اسم معرف ب : "ال" التعريف، تبدل ألف "ال" التعريف، ألفاً مدية ليفرق بين الاستفهام والخبر.

مثاله : {آلذَّكرين}، {قل ءآللهُ أذِنَ لكم}، {ءآللهُ خيرٌ أمّا تشركون}

- وإن لم يدغم  (أي إن كان الحرف الذي بعد المد ساكناً غير مشدَّد) فيسمى مخففاً.

مثاله : {آلآن وقد}.

مثال صوتي : 

اضغط هنا للإستماع

  كما في قوله تعالى {ءآلآنَ وَقَدْ عَصَيْتَ قَبْلُ وَكُنْتَ مِنْ الْمُفْسِدِينَ } (يونس الآية : 91).

2- الحرفي : يوجد في فواتح بعض السور، في الحرف الذي هجاؤه ثلاث أحرف أوسطها حرف مد والثالث ساكن.

وحروفه مجموعة في: {بل كم نَقص}

- فإن أدغم سمي مثقلاً.

مثاله: {آلم}، {المر}، {طسم}.

مثال صوتي : 

اضغط هنا للإستماع

  كما في قوله تعالى { الـم } (سورة البقرة الآية: 1)

 - وإن لم يدغم سمي مخففاً.

مثاله: {ن والقلم}، {ق والقرآن}، {المص}.

مثال صوتي : 

اضغط هنا للإستماع

  كما في قوله تعالى { أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيمًا فَآوَى } (سورة الضحى الآية: 6) . 

ملاحظة: حرف العين في فواتح السور يجوز أن يمد ست حركات، ويجوز أن يمد أربع حركات لأن الياء فيه ليست مدية بل هي حرف لين.

 

ب- لواحق الـمد :

1- مد العِوض : ويكون عند الوقف على التنوين المنصوب في آخر الكلمة، فيقرأ ألفاً عوضاً عن التنوين، ويمد مقدار حركتين، وإذا لم يوقف عليه فلا يمد.

مثاله: {أجراً عظيماً}، {عفواً غفوراً}، {إلا قليلاً}.

يشترط في هذا المد أن يكون الحرف المنوّن غير التاء المربوطة والألف المقصورة.

2- مد التمكين : هو ياءان أولاهما مشددة مكسورة والثانية ساكنة، وسمي مد تمكين لأنه يخرج متمكناً بسبب الشدة، ويمد مقدار حركتين.

مثاله: {حُييتم}، {النبيين}.

3- مد اللين : وهو مد حرفي المد ( الياء والواو ) الساكنتان و المفتوح ما قبلهما، والساكن مابعدهما سكوناً عارضاً في حالة الوقف.

ويمد حركتين أو أربع ، أو ست.

مثاله: {قريش}، {عليه}، {البيت}، {خوف}.

4- مد الصلة وينقسم إلى كبرى وصغرى :

أ- مد الصلة الكبرى :

وهو مد هاء الضمير الغائب المفرد المذكر مضمومة أو مكسوره الواقعة بين متحركين (أي أن الحرف الذي قبلها من نفس الكلمة كان متحركاً والحرف الذي بعدها من الكلمة التي تليها كان متحركاً أيضاً) تشبع ضمه الهاء ليتولد عنها واو مدية أو تشبع كسرة الهاء ليتولد عنها ياء مدية، وتمد خمس حركات، ونستطيع أن نقصرها إلى حركتين كالمنفصل، وذلك إذا جاء بعدها همز.

مثاله: {وهو يحاوره أنا}، {وله أجر}، {به أحداً}.

ب- مد الصلة الصغرى :

وهو مد هاء الضمير الغائب المفرد المذكر… وتمد مقدار حركتين إن لم يأتي بعدها همز.

مثاله: {أعّذبه عذاباً}، {قلته فقد علمته}، {بكلمته ويقطع}.

ويستثنى منه فلا يمد: {يرضه لكم} [الزمر: 7].

ملاحظة: تقرأ: {فيه مهانا} [الفرقان: 69] بمد صلة على خلاف القياس مع أنها لم تقع بين متحركتين.

-----------------------------------------------------

تنبيه : إذا اجتمع مدان من جنس واحد في القراءة وجب التسوية بينهما.

كأن يجتمع المنفصل مع مثله أو مع مد الصلة الكبرى أما مد العارض للسكون أو مد اللين فلا تجب التسوية ، لا في العارض مع مثله ولا في اللين مع مثله ولا عند اجتماع العارض واللين.

مثاله: قوله تعالى: {من السمآء مآء}. قوله تعالى: {فقالوا أبشراً منا واحداً نتبعُه إنآ إذا}.

ملاحظات عامة:

  • أقوى المدود: اللازم، فالمتصل، فالعارض للسكون، فالمنفصل، فالبدل.
  • إذا اجتمع سببان من أسباب المد قوى وضعيف، عمل بالقوى، نحو: {ولا آمّين}: مد بدل ومد لازم، فيعمل باللازم. ونحو: {وجاءوا أباهم}: بدل ومنفصل، فيعمل بالمنفصل.
  • إذا وقع حرف المد في آخر الكلمة وأتى بعده حرف ساكن حذف حرف المد في الوصل نحو: {وقالوا اتخذ}، {لصالوا الجحيم}، {حاضري المسجد الحرام}.

istilah istilah dalam qiroat


a. Isti’adzah Arti istiadzah menurut bahasa adalah berlindung, berupaya kuat dan berpegang teguh, sedangkan menurut istilah suatu permohonan kepada allah guna mendapatkan kekuatan sehingga dengannya terpelihara dari godaan syaitan yang terkutuk. Ulama sepakat menegaskan bahwa kalimat istiadzah tidak termasuk ayat alquran. b. Basmalah 1. Basmalah di awal surat Semua imam tujuh sepakat membaca basmalah pada setiap membaca awal surat dari semua surat dalam alquran kecuali pada awal surat baraah. 2. Basmalah di tengah surat Semua imam tujuh memberikan kebebasan kepada pembaca alquran untuk membaca basmalah atau tidak pada saat mulai membaca ayat yang terletak di tengah surat kecuali tengah surat baraah. 3. Baslmalah antara dua surat Qalun ibnu katsir, ashim dan al-kisai memisah dua surat dengan membaca basmalah. Hamzah membaca dua surat dengan menyambung (washal) akhir suatu surat dengan awal surat berikutnya tanpa membaca basmalah. Warys, abu amr, dan ibnu amir membaca dua surat dengan tiga cara yaitu: memisahnya dengan basmalah, sakt tanpa basmalah, dan menyambung suatu akhir surat dengan awal surat berikutnya tanpa basmalah. Sebagian ahlul ada’ memilih membaca basmalah sebagai pemisah dalam membaca 4 pasang surat dibwah ini yaitu: a. Antara surat al-muddatsir dengan surat al-qiyamah b. Antara surat al-infithar dengan surat at-tathfif c. Antara surat al-fajr dengan surat al-balad d. Antara surat al-‘ashr dengan surat al-humazah Atas nama mereka yang membaca dengan cara sakt pada selain empat pasang tersebut yakni warys, abu amr dan ibnu amir. Sebahagian ahlul ada memilih dengan cara sakt pada empat pasang surat tersebut diatas, atas nama mereka yang membaca secara washal pada selain empat pasang surat yakni warsy, abu amr, ibnu amir dan hamzah. bagi mereka yang membaca dua surat dengan basmalah boleh memberlakukan tiga cara berikut ini: 1. Waqaf pada akhir surat dan waqaf pada basmalah, baru membaca awal surat berikutnya 2. Waqaf pada akhir surat dan menyambung basmalah dengan awal surat berikutnya 3. Membaca akhir surat, basmalah dan awal surat berikutnya secara sambung-menyambung dalam satu nafas c. Mim jama’ Mim jama’ ialah huruf mim sukun yang menunjukan kepada arti banyak laki-laki seperti seperti بهم-لهم- علىكم- انفسكم dan lain-lain. d. Ha kinayah Ha kinayah menurut ulama qiraat ialah ha dhamir yang berpungsi menjadi kata ganti bagi seorang laki-laki. Ha kinayah mempunyai empat peristiwa sebagai berikut: 1. Ha kinayah diapit oleh dua sukun contoh: انزل فىهالقران 2. Ha kinayah di dahului oleh huruf berbaris di ikuti oleh sukun contoh: الذينلعلمه , dua keadaan ini di baca oleh semua imam tujuh dengan cara tidak shilah melainkan tetap sesuai baris. 3. Ha kinayah diapit oleh dua huruf berbaris contoh: فاقبرهاماته semua imam tujuh membacanya dengan shilah. 4. Ha kinayah di dahului oleh sukun diikuti oleh huruf berbaris contoh: هدىفيه e. Mad dan qashar Arti mad menurut bahasa adalah tambahan. Sedangkan arti mad menurut istilah ialah memanjangkan bunyi suara pada salah satu dari tiga huruf mad atau lin ketika ada sebab baik sebab itu huruf hamzah atau sukun. Arti qashar menurut bahasa adalah tertahan atau tercegah dan pendek, msedangkan menurut istilah adalah menetapkan bunyi huruf mad sepanjang dua harakat tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang. Pengertian dan ukuran panjang seperti ini dalam konteks stalatsatu aujuh (tiga macam panjang) yaitu qashar (dua harakat) tawassuth (empat harakat) dan thul (enam harakat) f. Mad munfashil Mad munfashil ialah huruf mad bertemu dengan huruf hamzah pada dua kata contoh: يا ايها . imam tujuh membaca ukuran panjang mad munfashil secara berbeda dan di bagi menjadi empat kelompok sebagai berikut: 1. Qalun dan duri abu amr membaca dengan ukuran panjang dua dan empat harakat 2. Warys dan hamzah membaca dengan ukuran panjang dua harakat saja 3. Ibnu amir, ashim dan al-kisai membaca dengan ukuran panjang empat harakat. g. Mad muttashil mad muttashil ialah uruf mad di ikuti oleh huruf hamzah pada satu kata contoh: ءجا. Iman tujuh membaca ukuran panjang mad muttashil secara berbeda dan dibagi menjadi dua kelompok sebagai berikut: 1. Warys dan hamzah membaca dengan ukuran panjang dengna enam harakat 2. Qalun ibnu katsir, abu amr, ibnu amir, ashim dan al-kisai membaca dengan ukuran panjang empat harakat. h. Mad badal Mad badal ialah huruf mad di dahului oleh huruf hamzah contoh: منوء. Imam tujuh berbeda cara membaca ukuran panjang mad badal dan di kelompokkan sebagai berikut: 1. Semua imam tujuh membaca ukuran panjang panjang mad badal dengan dua harakat kecuali warsy. 2. Warys membaca ukuran panjang mad badal dengan dua, empat dan enam harakat. Perubahan mad badal terjadi karena: a) Naql seperti: يما نالا b) Ibdal (diganti dengan ya berbaris atas) السما ءايةمن c) Tashil (bunyi huruf hamzah antara hamzah dan alif) contoh : ءا لهتنا Demikian pula dengan tiga cara pada badal shyibah bil badal seperti: ءواحا . disebut syabil bil badal (serupa dengan badal) karena huruf mad bukan pengganti huruf hamzah namun bunyi dan panjang nya setap sama. Mereka yang membaca mad badal dengan panjang empat dan enam harakat dalam riwayat warys mengecualikan beberapa hal sebagai berikut: 1. Mad badal di baca dengan dua harakat berdasarkan tiga kaidah yang berlaku secara umum sebagai berikut: a) Huruf alif yang mengikuti huruf hamzah sebagai pengganti dari tanwin saat di baca waqaf contoh: دعاء b) Huruf hamzah didahului sukun sahih pada satu kata contoh: مسؤ لا c) Huruf mad didahului huruf hamzah washal dan dibaca sebagai pangkal kata contoh: اوتمن 2. Mad badal dibaca hanya dengan dua harakat pada dua kata saja yaitu : يؤ اخذو dalam semua bentuk kata jadiannya yang huruf hamzahnya sudah diganti dengan wawu seperti لاتؤاخذ ن dan اسرا ئيل dimana saja dalam alquran. 3. Mad badal hanya pada dua kata yaitu ءا لئن pada dua tempat dalam surat yunus ayat 51 dan 91 yakni pada alif kedua karena alif pertama termasuk mad lazim dan عا د الأ ؤ لى ayat 50 surat annajm. Namun dua kata ini dibaca secara berbeda oleh ulul ada. Di antara mereka membaca tetap memberlakukan kaidah asal tiga macam ukuran panjang yaitu dua, empat, dan enam harakat. Sedangkan sebahagian dari mereka hanya dengan dua harakat saja. i. Ibdal Ibdal ialah mengganti huruf hamzah sukun yang berdiri sendiri (tidak disertai huruf hamzah lainnya) terletak pada fa kalimat seperti يأ لمو ن , ain kalimah seperti االر ء س ,dan lam kalimah seperti, فا ذا رءتم dengan huruf mad sesuai dengan jenis huruf sebelumnya. Diganti dengan alif jika didahului oleh baris atas seperti: menjadi , dengan wawu jika di dahului oleh baris dhammah seperti : menjadi , dengan ya jika didahului baris bawah seperti : menjadi . warys membaca dengan ibdal jika hamzah sukun terletak pada fa kalimah saat washal dan waqaf kecuali beberapa kata tertentu. As susi membaca dengan ibdal jika hamzah sukun terletak pada fa, j. Dua huruf lin Dua huruf lin ialah wawu dan ya sukun di dahului oleh baris atas. Apabila dua huruf lin di ikuti oleh huruf hamzah pada satu kata contoh: شئ السوء- maka imam tujuh membaca secara berbeda dan dikelompokkan menjadi dua kelompok sebagai berikut: 1. Semua imam tujuh kecuali warsy membaca dengan qashar atau madimma, atau adamul mad bil kulliyyah yakni +1 ½ harakat ( lebih dari satu harakat namun kurang dari dua harakat), saat washal. Sedangkan saat waqaf hukum nya menjadi mad aridhlissukun sehingga panjangnya menjadi boleh dua, empat dan enam harakat. 2. Warsy membaca dengan empat dan enam harakat baik saat washal maupun waqaf kecuali dua kata dala alquran yaitu: a. مَو ئلا Ayat 58 surat al-kahfi karena kata tersebut berasal dari و ا ل dan wawu sukun yang ada pada ayat tersebut datang kemudian. b. المو ء و دة Ayat 8 surat at-takwir karena kata tersebut berasal dari kata و ا د dan wau sukun yang ada pada ayat tersebut datang kemudian juga. Dua kata ini hanya dibaca dengan madimma saja sama dengan cara al baqun membaca. Rusmus warsy 2+ ½ , 4+ ½ . 6+ ½ , 4+4.. k. Naql Naql ialah pemindahan baris huruf hamzah kehuruf sukun yang mendahuluinya dan huruf sukun tersebut bukan huruf mad kemudian huruf hamzah di buang. Huruf sukun itu adakalanya berbentuk tanwin contoh : lam ta’rif atau sukun asli atau huruf sukun zaidah. Imam yang membaca dengan naql adlah warsy sedangkan al-baqun membaca dengan tidak naql. Namun demikian ada sejumlah imam yang membaca dengan naql pada kata-kata tertentu. l. Sakt Sakt ialah berhenti sejenak seukuran dua harakat tanpa nafas. Kata atau kalimat yang dibaca sakt dibagi dalam empat bagian sebagai berikut: 1. Pada al ta’rif ا ل) ( contoh 2. Pada baik huruf hamzahnya bebaris dhammah berbaris bawah dan berbaris atas. 3. Pada sakin mafshul (sukun dan huruf hamzah pada dua kata) contoh: 4. Pada empat kalimat yaitu: khalaf membaca al ta’rif (ا ل) dan شيئ dalam tiga barisnya dan sakt saja saat washal. Saat waqaf pada al ta’rif () dengan sakt dan naql. Adapun saat waqaf pada dalam tga barisnya dengan naql () dan dengana ibdal bsersama idgham . khalaf membaca sakin mafshul saat washal dengan sakt dan tahqiq (tidak sakt). Sedangakan saat waqaf sangat tergantung dari cara saat washal yaitu: a. Jika saat washal dengan sakt maka saat waqaf maka dengan sakt dan naql. b. Jika saat washal dengan tahqiq (tidak sakt) maka saat waqaf dengan naql dan tahqiq (tidak sakt). Khalad membaca al ta’rif () dan dalam tiga barisnya dengan sakt dan thqiq (tidak sakt) saat washal. Sedangkan saat waqaf pada al ta’rif () sangat tergantung dari cara membacanya saat washal yaitu: a. Jika saat washal dengan sakt maka pada saat waqaf dengan naql dan sakt b. Jika saat washal dengan tahqiq maka pada saat waqaf dengan naql saja

qiraat imam ashim


Pada postingan sebelumnya , kami paparkan sedikit perkenalan tentang Imam Ashim bin Najuud , yakni imam qiroah kuffiyun yang kaidah - kaidah bacaannya termasyhur diantara qiroah imam lainnya , tidak ada salahnya,kali ini kami posting kaidah ghorib versi imam Ashim bin Najuud , mohon koreksi para pembaca , jika terdapat kesalahan . Istilah gharib terambil dari bahasa Arab, menurut Ibrahim Musthafa (tt: 647/2) ia merupakan isim sifat dari kata “gharaba – yaghribu” yang artinya ghamudla (sulit) dan khafiya (samar). Dalam literature Arab, istilah gharib al-Qiraat tidak popular dalam peristilahan ilmu qiraat dan tidak pernah dipakai dalam tulisan para pakar ilmu qiraat. Istilah ini banyak dipakai dalam buku-buku tajwid di Indonesia. Misalnya, metode “qira’ati” memasukkan bahasan gharib al-qiraah tersebut pada jilid 6. Istilah tersebut dimaksudkan sebagai bacaan yang jumlahnya terbatas dan orang awam jarang memahami dan mengenal bacaan tersebut. Adakalanya istilah ini dimaknai sebagai bacaan-bacaan al-Quran yang mana antara tulisan dan cara bacanya sedikit berbeda. Adapun bacaan-bacaan yang dianggap gharib adalah imalah, tashil, isymam, naql, badal, saktah, shilah. 1. Saktah Secara bahasa kata “saktah” berasal dari bahasa Arab: سكت – يسكت – سكوتا yang berarti diam; tidak bergerak. Adapun dalam istilah ilmu qiraat, saktah adalah memutus kata sambil menahan nafas dengan niat meneruskan bacaan (M. Makky Nasr, tt:153). Dalam qira’ah sab’ah bacaan saktah banyak dijumpai pada bacaannya Imam Hamzah (baik dari riwayat khalaf maupun khalaf), yaitu setiap ada hamzah qatha’ yang didahului tanwin atau al ta’rif, seperti بالآخرة، عذاب أليم (Arwani Amin, tt:3-6). Sedangkan dalam bacaan Imam Ashim riwayat Hafs; di al-Qur’an bacaan saktah hanya ada di empat tempat, yaitu: a. Surat al-Kahfi ayat 1 : الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَى عَبْدِهِ الْكِتَابَ وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا ( 1) قَيِّمًا لِيُنْذِرَ بَأْسًا شَدِيدًا مِنْ لَدُنْهُ وَيُبَشِّرَ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا حَسَنًا (2) 1. Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al kitab (Al-Quran) dan Dia tidak Mengadakan kebengkokan di dalamnya; 2. (Sebagai bimbingan) yang lurus, untuk memperingatkan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal saleh, bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik, b. Surat Yasin ayat 52 : قَالُوا يَا وَيْلَنَا مَنْ بَعَثَنَا مِنْ مَرْقَدِنَا هَذَا مَا وَعَدَ الرَّحْمَنُ وَصَدَقَ الْمُرْسَلُونَ Mereka berkata: “Aduhai celakalah kami! siapakah yang membangkitkan Kami dari tempat-tidur Kami (kubur)?”. Inilah yang dijanjikan (tuhan) yang Maha Pemurah dan benarlah Rasul- rasul(Nya). c. Surat al-Qiyamah 27 : كَلَّا إِذَا بَلَغَتِ التَّرَاقِيَ (26) وَقِيلَ مَنْ رَاقٍ (27) 26. Sekali-kali jangan. apabila nafas (seseorang) telah (mendesak) sampai ke kerongkongan, 27. Dan dikatakan (kepadanya): “Siapakah yang dapat menyembuhkan?”, d. Surat al-Muthaffifin 14 : كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka. Pada saktah (1), alasan linguistiknya adalah bahwa susunan kalimat pada surat Al-Kahfi ayat 1 sudah sempurna. Dengan kata lain, apabila seorang qari mewaqafkan bacaan pada kata عوجا, maka ia sudah berhenti pada waqaf tamm (sempurna). Namun setelah melihat kalimat setelahnya itu ternyata terdapat kata قيّما , kalimatnya menjadi rancu. Kata قيّما bukan sifat/naat dari kata عوجا , melainkan jadi hal atau maf’ul bih, sehingga jelas tidak tepat bila kalimat tersebut diterjemahkan: “Allah tidak menjadikan al-Quran sebagai ajaran yang bengkok serta lurus”. Mestinya terjemahannya adalah: “Allah tidak menjadikan al-Quran sebagai ajaran yang bengkok, melainkan menjadikannya sebagai ajaran yang lurus. Terjemahan tersebut sesuai dengan analisis sintaksis dan analisis I’rab oleh Ad-Darwisy. Menurut Ad-Darwisy (2002:530/V) kata قيّما dinashabkan sebagai hal (penjelas) dari kalimat وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا , sedang Az-Zamakhsyari berpendapat bahwa kata tersebut dinashabkan lantaran menyimpan fi’il berupa ” جعله “. Berbeda juga dengan pendapat Abu Hayyan, menurutnya kata قيّما itu badal mufrad dari badal jumlah “وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا “. Tidak mungkin seorang qari’ memulai bacaan (ibtida’) dari قيّما, sebagaimana juga tidak dibenarkan meneruskan bacaan (washal) dari ayat sebelumnya, karena beberapa alasan di atas. Jadi, kalimat di atas baik diwashalkan maupun diwaqafkan sama-sama tidak tepat, sebagai solusi dari keduanya adalah saktah. Demikian juga halnya pada saktah (2) pada ayat: مَنْ بَعَثَنَا مِنْ مَرْقَدِنَا هَذَا مَا وَعَدَ الرَّحْمَنُ. Menurut Ad-Darwisy (2002:213/VIII) kata هذا itu mubtada’ dan khabarnya مَا وَعَدَ الرَّحْمَنُ . Berbeda halnya dengan pendapat Az-Zamakhsyari yang menjadikan kata هذا itu sifat dari مرقد, sementara ما sebagai mubtada’ yang khabarnya tersimpan, yaitu kata حق atau هذا. Dari aspek makna, kedua pendapat di atas dapat dipakai. Pertama, orang yang dibangkitkan dari kuburnya itu mengatakan: “Siapakah yang membangkitkan dari tempat tidur kami (yang) ini. Apa yang dijanjikan Allah dan dibenarkan oleh para rasul ini pasti benar. Kedua, orang yang dibangkitkan dari kuburnya itu mengatakan: “Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami. Inilah yang dijanjikan Allah dan dibenarkan oleh para rasul ini pasti benar. Dengan membaca saktah, kedua makna yang sama-sama benar tersebut bisa diakomodir, sekaligus juga untuk memisahkan antara ucapan malaikat dan orang kafir. Dijelaskan dalam beberapa tafsir bahwa kata هذا dan seterusnya bukan perkataan orang kafir, melainkan perkataan malaikat atau orang mukmin (As-Shabuni, 1997:16/III). Sedangkan untuk pada من pada مَنْ – راق dan بل pada بَلْ ران yaitu untuk menekankan fungsi مَنْ sebagai kata tanya dan fungsi بل sebagai kata penegas, juga untuk mempertegas idharnya lam dan nun karena biasanya dua huruf tersebut bila bertemu ra’ diidghamkan sehingga bunyi keduanya hilang (Al-Qaisy, 1987:II/55). Ibnu Zanjalah berpendapat bahwa kata من dan بل itu perlu dipisahkan untuk menghindari idgham, sebab masing-masing merupakan kata terpisah yang memiliki makna tersendiri. Selain empat tempat di atas, sebetulnya ada dua lagi saktah yang dianjurkan oleh para imam qiraat termasuk Imam Ashim, yaitu: 1. Pertemuan antara surat al-Anfal dan surat at-Taubah: إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ () بَرَاءَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى الَّذِينَ عَاهَدْتُمْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ 2. Pertemuan dua ha’ pada surat al-Haqqah, ayat 28-29: مَآ أَغْنَى عَنِّي مَالِيَهْ () هَّلَكَ عَنِّي سُلْطَانِيَهْ Saktah pertama, secara linguistik digunakan untuk memilah dua surat yang berbeda meski tidak dipisah dengan basmalah, sementara saktah kedua dimaksudkan untuk membedakan dua ha’, ha’ saktah pada مَالِيَهْ dan ha’ fi’il pada هَّلَكَ. 2. Imalah Secara bahasa imalah berasal dari kata أمال – يميل – إمالة (الرمح) yang berarti memiringkan atau membengkokkan (tombak), sedangkan secara istilah imalah berarti memiringkan fathah ke arah kasrah atau memiringkan alif ke arah ya’ (Abu Thahir, 311). Bacaan ini banyak ditemui pada bacaan Imam Hamzah dan al-Kisa’i, yaitu di antaranya pada kata yang berakhiran alif layyinah, seperti الضحى، قلى، سجى، هدى. Namun pada riwayat Imam Hafs hanya terdapat pada kata مجراها (QS. Hud:41). Dan Nuh berkata: “Naiklah kamu sekalian ke dalamnya dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuhnya.” Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dalam ilmu qira’at, ada bacaan yang menyerupai imalah, yakni taqlil atau baina baina dari qiraat Imam Warsy, terutama pada lafadz yang berwazan فَعلى، فِعلى، فُعلى (Arwani Amin, 18), hanya saja taqlil lebih mendekati fathah seperti bunyi re pada kata mereka. Bacaan imalah diakui termasuk salah satu dialek bahasa Arab standar (fasih) untuk penduduk Najed dari suku Tamim, Qais dan Asad. Bacaan imalah ini bermanfaat untuk memudahkan pengucapan huruf, karena lidah itu akan terangkat bila membaca fathah dan turun bila membaca imalah dan tentunya turunnya lidah itu lebih ringan dari terangkatnya lidah (Abu Thahir, 1994:312). Juga dengan bacaan imalah, huruf ya’ yang merupakan asal dari alif layyinah tersebut akan tetap tampak ketika dibaca. Alasan diimalahkannnya kata “majraha” adalah untuk membedakan antara kata “majraha” yang berarti berjalan di daratan dengan kata “majraha” yang berarti berjalan di laut. Menurut kamus kontemporer bahasa Arab “Mu’jam al-lughah al-Arabiyyah al-mu’ashirah, kata “majraha” berasal dari kata “jara” yang artinya berjalan atau mengalir dan kata tersebut bisa digunakan baik berjalan di atas daratan maupun di atas air, hanya saja kecendrungannya perjalanan kendaraan (misalnya kapal laut) di air tidak stabil sebagaimana di darat. Adakalanya dihempas oleh ombak atau terpaan angin besar, sehingga sangat rasional bila kata “majraha” itu diimalahkan. 3. Naql (Menggeser harakat) Secara bahasa naql berasal dari kata نقل – ينقل – نقلا berarti memindah; menggeser. Adapun secara istilah naql berarti memindahkan harakat ke huruf sebelumnya, sebagaimana yang banyak ditemui pada riwayat Imam Hamzah dan Warsy, yakni setiap ada al ta’rif atau tanwin bertemu hamzah, contoh بالآخرة terbaca بلاخرة dan عذاب أليم terbaca عذابنليم . Dalam riwayat Hafs bacaan naql hanya ada di satu tempat yaitu pada kata بئس الاسم (QS. al-Hujurat:11). Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim. *Alasan bacaan naql pada kata الاسم yaitu terdapatnya dua hamzah washal (hamzah yang tidak terbaca di tengah kalimat), yakni hamzah pada al ta’rif dan ismu (salah satu dari sepuluh kata benda yang tergolong hamzah washal), yang mengapit “lam” sehingga kedua hamzah tersebut tidak terbaca ketika disambung dengan kata sebelumnya. Di antara manfaat bacaan naql ini adalah untuk memudahkan umat Islam membacanya. 4. Badal/Ibdal (mengganti huruf) a. Penggantian Hamzah dengan Ya’ Badal/ibdal yang dimaksud di sini adalah إبدال الهمزة الساكنة بالياء (mengganti hamzah sukun dengan ya’. Semua imam qira’at sepakat mengganti hamzah qatha’ –bila tidak disambung dengan kata sebelumnya- yang jatuh setelah hamzah washal dengan ya’ sukun, seperti لقاءنا ائت (QS. Yunus:15), في السموات ائتوني (QS .al-Ahqaf:4). Di bawah ini uraian ayat selengkapnya: Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu sembah selain Allah; perlihatkan kepada-Ku Apakah yang telah mereka ciptakan dari bumi ini atau Adakah mereka berserikat (dengan Allah) dalam (penciptaan) langit? bawalah kepada-Ku kitab yang sebelum (Al Quran) ini atau peninggalan dari pengetahuan (orang-orang dahulu), jika kamu adalah orang-orang yang benar” (QS .al-Ahqaf:4) Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan Pertemuan dengan Kami berkata: “Datangkanlah Al Quran yang lain dari ini[675] atau gantilah dia”. Katakanlah: “Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. aku tidak mengikut kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku takut jika mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang besar (kiamat)”. (QS. Yunus:15) Adapun bacaan Imam Warsy, al-Susy dan Abu Ja’far, hamzah qatha’ dalam kalimat tersebut diganti ya’ ketika diwashalkan (Al-Qadli, 1981:143). b. Penggantian Shad dengan Siin Yakni mengganti shad dengan siin pada kata يبصط (QS. al-Baqarah:245) dan بصطة (QS. al-A’raf:69) untuk selain bacaan Nafi’, al-Bazzi, Ibnu Dzakwan, Syu’bah, Ali Kisa’i, Abu Ja’far dan Khalad. (Al-Qadli, 1981:119) sedangkan pada بمصيطر (QS. al-Ghasyiyah:22) Imam Ashim membaca sebagaimana tulisan mushaf, lain halnya dengan المصيطرون (QS. al-Thur:37) kata ini bisa dibaca dengan mengganti shad dengan siin atau dibaca tetap sebagaimana tulisannya (Al-Qadli, 1981:306). Alasan digantinya shad dengan siin pada semua kalimat di atas yaitu mengembalikan pada asal katanya, yaitu بسط – يبسط ، سيطر – يسيطر. Sedangkan alasan ditetapkannya shad yaitu mengikuti rasm/khat usmani al-Qur’an dan juga untuk menyesuaikan sifat ithbaq dengan huruf sesudahnya (tha’) yang mempunyai sifat isti’la’ (Al-Qaisy, 1987:I/34). 5. Isymam Yaitu membaca harakat kata yang diwaqaf tanpa ada suara dengan mengangkat dua bibir setelah mensukunkan huruf yang dirafa’, seperti نستعين . Dalam bacaan Imam Hisyam juga mengisymamkan kata seperti قيل dengan mencampur dlammah dan kasrah dalam satu huruf, demikian juga Imam Hamzah membaca isymam kata صراط، الصراط dengan memadukan bunyi ص dan ز (Al-Qadli, 1981:15). Namun dalam bacaan Hafs isymam hanya ada kata لا تأمنا. yakni lidah melafadzkan لا تأمننا tanpa ada perubahan suara alias tetap sama dengan tulisannya. Berikut ini ayat selengkapnya: Mereka berkata: “Wahai ayah Kami, apa sebabnya kamu tidak mempercayai Kami terhadap Yusuf, Padahal Sesungguhnya Kami adalah orang-orang yang mengingini kebaikan baginya. Kalau diamati, ternyata rasm al-Qur’an hanya menulis satu nun yang ditasydid. Pertanyaan yang muncul, mana dlammahnya? sehingga untuk mempertemukan keduanya dipilih jalan tengah yaitu bunyi bacaan mengikuti rasm, sedang gerakan bibir mengikuti kata asal. Dalam bacaan imam Ibnu Amir untuk riwayat As-Susy, seperti bacaan di atas disebut idgham kabir, yakni bertemunya dua huruf yang sama dan sama-sama hidup, lalu melebur menjadi satu huruf. Dalam bacaan Imam Ashim, hanya dikenal satu idgham saja, yaitu idgham shagir (mengidghamkan dua huruf yang sama, yang salah satunya huruf mati). Secara bahasa, hal itu bisa difahami bahwa memang asal dari kalimat itu terdapat dua nun yang diidharkan, nun pertama dirafa’kan dan kedua dinashabkan (Al-Qaisy, 1987:II/161). Nun pertama dirafa’kan (didlammahkan) karena ia termasuk fi’il mudlari yang tidak kemasukan ‘amil nawashib maupun jawazim. Kata “la” yang masuk pada kata “ta’manu” adalah nafy (yang berarti “tidak”) bukan nahy (yang berarti “jangan”). Hal itu diambil dari pemahaman konteks ayat: قَالُواْ يَا أَبَانَا مَا لَكَ لاَ تَأْمَنَّا عَلَى يُوسُفَ وَإِنَّا لَهُ لَنَاصِحُونَ (Mereka, saudara-saudara Yusuf, berkata: wahai ayah kami, mengapa engkau tidak percaya pada kami untuk melindungi Yusuf, padahal kami selalu menasehatinya). 6. Tas-hil Arti tashil secara bahasa memberi kemudahan atau keringanan, sedangkan dalam istilah qiraat, tashil diartikan membaca hamzah kedua – dari dua hamzah yang beriringan – dengan bunyi leburan hamzah dengan alif, seperti أأنذرتهم، أأنتم dan lain-lain. Hanya saja dalam riwayat Hafs bacaan tashil hanya satu yaitu pada QS. al-Fusshilat:44). Dan Jikalau Kami jadikan Al Quran itu suatu bacaan dalam bahasa selain Arab, tentulah mereka mengatakan: “Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?” Apakah (patut Al Quran) dalam bahasa asing sedang (Rasul adalah orang) Arab? Katakanlah: “Al Quran itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mukmin. dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al Quran itu suatu kegelapan bagi mereka. mereka itu adalah (seperti) yang dipanggil dari tempat yang jauh”. Ketika bertemu dua hamzah qatha’ yang berurutan pada satu kata maka melafadzkan kata semacam ini bagi orang Arab terasa berat, sehingga bacaan seperti ini bisa meringankan. Juga ada tashil yang berasal dari mad lazim, sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Nasr Makky (tt:137) ada enam tempat, yaitu 1. Surat al-An’am ayat 143 : قُلْ آلذَّكَرَيْنِ حَرَّمَ أَمِ الْأُنْثَيَيْنِ أَمَّا اشْتَمَلَتْ عَلَيْهِ أَرْحَامُ الْأُنْثَيَيْنِ 2. Surat al-An’am ayat 144 : قُلْ آلذَّكَرَيْنِ حَرَّمَ أَمِ الْأُنْثَيَيْنِ أَمَّا اشْتَمَلَتْ عَلَيْهِ أَرْحَامُ الْأُنْثَيَيْنِ 3. Surat Yunus 51 : أَثُمَّ إِذَا مَا وَقَعَ آمَنْتُمْ بِهِ آلْآنَ وَقَدْ كُنْتُمْ بِهِ تَسْتَعْجِلُونَ 4. Surat Yunus 91 : آلْآنَ وَقَدْ عَصَيْتَ قَبْلُ وَكُنْتَ مِنَ الْمُفْسِدِينَ 5. Surat Yunus 59 : قُلْ آللَّهُ أَذِنَ لَكُمْ أَمْ عَلَى اللَّهِ تَفْتَرُونَ 6. Surat al-Naml 59 : قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ وَسَلَامٌ عَلَى عِبَادِهِ الَّذِينَ اصْطَفَى آللَّهُ خَيْرٌ أَمَّا يُشْرِكُونَ 7. Madd & Qasr Dalam qiraat khusnya bacaan Hafs, banyak ditemukan kata yang tertulis dalam rasm usmani pendek tapi dibaca panjang dan tertulis panjang dibaca pendek, di antaranya: a- ملك terbaca مالك Imam Ashim dan Ali Kisa’i membaca mim dengan alif, sedang yang lain membaca pendek. Mereka yang membaca dengan alif beralasan sesuai dengan ayat al-Qur’an : قل اللهم مالك الملك dan bukan ملك الملك juga karena maalik berarti dzat yang memiliki, sedangkan malik berarti tuan atau penguasa sehingga dalam Allah berfirman: ملك الناس yang berarti tuhan manusia dan tidak cocok makna yang seperti itu untuk kata hari pembalasan يوم الدين (Al-Qaisy, 1987:I/26). b-أنا terbaca أن ketika washal Alasan dipendekkannya nun ketika washal pada semua kata أنا (dlamir yang berarti saya) karena fungsi alif tersebut hanya berfungsi menjelaskan harakat sebagaimana menambahkan ha’ ketika berhenti (هاء السكت ). Ketika ada kata benda yang hurufnya sedikit lalu diwaqafkan dengan sukun maka bunyinya akan janggal dan diberi tambahan alif itu agar bunyi nun tetap sebagaimana asalnya. Sedangkan tidak ditambahkannya alif ketika washal karena nun sudah berharakat (Al-Qaisy, 1987:II/61). Ada juga lafadz yang mirip dengan أنا yaitu لكنا pada QS. Al-Kahfi:38. Berikut ini paparan ayatnya: Tetapi aku (percaya bahwa): Dialah Allah, Tuhanku, dan aku tidak mempersekutukan seorangpun dengan Tuhanku. yakni dibaca pendek ketika washal dan dibaca panjang ketika waqaf. Hal itu dikarenakan asal dari لكنا adalah لكن + أنا dan bukan لكن + نحن . c- الرسولا، الظنونا، قواريرا Imam Nafi’, Abu Bakar, Hisyam, al-Kisa’i membaca kata di atas dengan tanwin, sementara yang lain termasuk Imam Ashim riwayat Hafs membacanya dengan tanpa tanwin. Semua ulama mewaqafkannya dengan alif kecuali Hamzah dan Qonbul, keduanya mewaqafkan tanpa alif (Al-Qaisy, 1987:II/352). Alasan mereka yang mewaqafkan dengan alif adalah karena mengikuti rasm atau khot mushaf yang mencantumkan alif dan ketika washal alifnya tidak terbaca karena sighat muntahal jumu’ yang termasuk isim ghairu munsharif sehingga tidak boleh ditanwin. Sedangkan الظنونا، الرسولا، السبيلا meskipun bukan termasuk jama’ akan tetapi ia disamakan dengan syair yang akhir baitnya terdapat fathah yang dipanjangkan dengan alif (Al-Qaisy, 1987:II/353). d- أولئك، أولوا، الملاء Dalam rasm usmani ada beberapa huruf yang tertulis tapi tidak terbaca seperti أولئك أولو، الملاء, ada pula yang tak tertulis tapi terbaca seperti هذا، هذه، ذلك . Inilah yang merupakan keunikan dari rasm al-Qur’an yang penuh rahasia dan mukjizat. 8. Shilah Kaidah umum yang berkaitan dengan ha’ dlamir berbunyi bahwa apabila ada ha’ dlamir yang tidak didahului huruf mati maka harus dipaanjangkan seperti له، به, dan juga untuk menguatkan huruf ha’ perlu ditambahkan huruf mad setelahnya, karena tidak ada alasan yang mengharuskan membuang huruf setelah ha’ dan huruf sebelumnya berharakat, inilah ijma para ulama qira’ah (Al-Qaisy, 1987:I/44), sebaliknya apabila ha didahului huruf yang disukun maka dibaca pendek, seperti منه، إليه. Para ulama qurra’ kecuali Ibnu Katsir, kurang senang menggabungkan dua huruf sukun yang dipisah oleh huruf lemah yaitu ha, sehingga mereka membuang huruf mad setelah ha’ dan inilah madzhab Imam Sibawaih (Al-Qaisy, I/42). Kendatipun demikian dalam riwayat Hafs ditemukan ha’ dlamir yang dipanjang walau didahului huruf mati seperti ويخلد فيه مهانا (QS. al-Furqan:69). Dalam hal ini Imam Hafs sama bacaannya dengan Ibnu Katsir, yaitu membaca shilah ha’ (panjang). Alasannya diketahui bahwa ha’ adalah huruf lemah sebagaimana juga hamzah, sehingga ketika ha’ dikasrahkan, maka sebagai ganti dari wawu sukun adalah ya’ untuk menguatkan ha’. Dalam perkataan Arab sendiri jarang dijumpai wawu sukun yang didahului kasrah, sehingga menjadi فيهي atau عليهي (Al-Qaisy, 1987:I/42). Dan ada pula ha’ yang dipendekkan (kendatipun tidak didahului huruf mati) dengan mendlammahkan ha’ tanpa shilah, yaitu يرضه لكم (QS. Al-Zumar:7), bacaan seperti juga dijumpai pada bacaan Imam Hamzah, Nafi’, Ya’qub (Al-Qadli, 1981:274). Alasan dipanjangkannya kata فيه yaitu mengembalikannya pada asalnya, yang mana ـه berasal dari kata هو . Ketika digabung dengan في menjadi فيهو , akan tetapi karena ha’ didahului ya’ sukun yang identik dengan kasrah maka harakat ha’ harus disesuaikan dengan harakat sebelumnya dan mengganti huruf mad wawu menjadi ya’ untuk menyesuaikannya dengan kasrah sehingga menjadi فيهي dan huruf mad diganti dengan harakat kasrah berdiri: فيه . Al-Khalidi (2004:50) menyebut ha’ tersebut dengan istilah “ha’ul khafdli” (ha’ panjang yang berfungsi merendahkan). Menurutnya konteks ayat itu memang menghendaki dipanjangkannya ha’ tersebut. Ayat itu menceritakan beberapa dosa dan kemaksiatan yang tidak akan dilakukan oleh “ibadur rahman (hamba pilihan Allah yang pengasih)”. (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan Dia akan kekal dalam azab itu, dalam Keadaan terhina, Sebagai konsekuensi atas dosa yang dilakukan, mereka akan mendapatkan siksa yang pediah serta abadi dalam kehinaan. Saat kita memanjangkan ha’ pada fii-hii, seakan-akan kita ikut membantu melemparkan mereka ke neraka serta ikut menjerumuskan para pelaku dosa tersebut ke jurang kehinaan (khafdlu). Mengenai alasan dipendekkannnya ha’ pada kata يرضه dan semacamnya yaitu mengembalikannya pada tulisan mushaf yang tidak terdapat wawu mad setelah ha’. Demikian juga dalam al-Quran terdapat terdapat ha’ dlamir yang didlammahkan meski jatuh setelah ya’ sukun (عليهُ), yaitu pada surat Al-Fath ayat 10. Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. tangan Allah di atas tangan mereka, Maka Barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan Barangsiapa menepati janjinya kepada Allah Maka Allah akan memberinya pahala yang besar. Asbabun nuzul dari ayat tersebut adalah: bahwa pada bulan Zulkaidah tahun keenam Hijriyyah Nabi Muhammad s.a.w. beserta pengikut-pengikutnya hendak mengunjungi Mekkah untuk melakukan ‘umrah dan melihat keluarga-keluarga mereka yang telah lama ditinggalkan. Sesampai di Hudaibiyah beliau berhenti dan mengutus Utsman bin Affan lebih dahulu ke Mekah untuk menyampaikan maksud kedatangan beliau dan kamu muslimin. mereka menanti-nanti kembalinya Utsman, tetapi tidak juga datang karena Utsman ditahan oleh kaum musyrikin kemudian tersiar lagi kabar bahwa Utsman telah dibunuh. karena itu Nabi menganjurkan agar kamu muslimin melakukan bai’ah (janji setia) kepada beliau. merekapun Mengadakan janji setia kepada Nabi dan mereka akan memerangi kamu Quraisy bersama Nabi sampai kemenangan tercapai. Perjanjian setia ini telah diridhai Allah sebagaimana tersebut dalam ayat 18 surat ini, karena itu disebut Bai’atur Ridwan. Bai’atur Ridwan ini menggetarkan kaum musyrikin, sehingga mereka melepaskan Utsman dan mengirim utusan untuk Mengadakan Perjanjian damai dengan kaum muslimin. Perjanjian ini terkenal dengan Shulhul Hudaibiyah. Menurut Al-Khalidi, Sifat memenuhi janji berjuang ini merupakan sifat yang mulia dan luhur (rif’ah). Harakat dlammah memberikan nuansa kemuliaan dan keagungan akhlak. Jadi tepat sekali Allah mendlammahkan ha’ tersebut karena memang suasana sosiologisnya menunjukkan hal keluhuran itu, sehingga Al-Khalidi menyebutnya ha’ tersebut dengan istilah ha’ rif’ah. 9. Memfathah atau mendlammah ض Dalam al-Qur’an ada lafadz serupa yang diulang tiga kali dalam satu ayat yaitu ضعْف (QS. al-Ruum:54). Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari Keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah Keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah yang Maha mengetahui lagi Maha Kuasa. Kata tersebut adalah masdar dari ضعُف – يضعَف . Para ulama qira’ah berbeda dalam membaca harakat dlad, Imam Hamzah dan Imam Syu’bah (salah satu perawi dari Imam Ashim) memfathah dlad dan lainnya kecuali Imam Hafs membacanya dengan dlammah. Sedangkan Imam Hafs membaca keduanya, fathah dan dlammah. Alasan terjadinya perbedaan itu karena dalam ilmu sharaf, kata ضعُف – يضعَف itu mempunyai dua masdar yaitu ضَعْف dan ضُعْف , sebagaimana yang terjadi pada kata فقر juga mempunyai dua masdar yakni فَقْر dan فُقْر (Al-Qaisy, 1987:II/213). 10. Hukum Membaca Basmalah Pada Surat Taubat Dalam Mushaf Usmani semua surat al-Qur’an di awali dengan basmalah kecuali surat al-Bara’ah atau surat al-taubat. Terkait dengan hal itu, sahabat Nabi Ubay bin Ka’ab berkata bahwa Rasulullah pernah menyuruh kami menulis basmalah di awal setiap surat, dan tidak memerintahkan kami menulisnya di awal surat al-Bara’ah, oleh karenanya surat tersebut digabungkan dengan surat al-Anfal dan itu lebih utama karena adanya keserupaan keduanya. (Inilah pernyataan) pemutusan hubungan dari Allah dan RasulNya (yang dihadapkan) kepada orang-orang musyrikin yang kamu (kaum muslimin) telah Mengadakan Perjanjian (dengan mereka). Imam Ashim berkata: Basmalah tidak ditulis di awal surat al-Bara’ah, karena basmalah itu berarti rahmat atau kasih sayang, sedangkan al-Bara’ah merupakan surat adzab atau siksaan (al-Qaisy, 1987:I/20). Para ulama fiqh berbeda pendapat mengenai hukum membaca basmalah di awal surat al-Bara’ah ini, Imam Ibnu Hajar dan al-Khatib mengharamkan membaca basmalah di awal surat ini dan memakruhkan membacanya di tengah surat. Sedangkan Imam Ramli dan para pengikutnya memakruhkan membaca basmalah di awal surat dan mensunnahkan membacanya di tengah surat sebagaimana surat-surat yang lain (Al-Qadli, 1981:13). Daftar Rujukan bu Thahir, Abd al-Qayyum ibn Abd al-Ghafur. 1994. Shafahat fi Ulumal-Qiraat. Madinah: Mathabi ar-Rasyid. Ad-Darwisyi, Muhyiddin. 2002. I’rabul Quran wa Bayanuh. Damaskus: Dar Ibn Katsir. Juz I. Hal. 5-7. Al-Khalidi, Shalah Abd Fattah. 2004. Lathaif Qur’aniyyah. Damaskus: Dar al-Qalam Al-Qadli, Abdul Fattah. 1981. Al-Budur az-Zahirah. Cet. 1. Beirut: Dar al-Kitab al-Araby. Al-Qaisy, Abu Muhammad Makki ibn Abi Thalib. 1987. Al-Kasyfu an Wujuh al-Qiraat as-sab’I wa Ilaliha wa Hujajiha. Cet. 4. Beirut: Muassasah ar-Risalah. Arwani Amin. Tanpa tahun. Faidl al-Barakat. Kudus: Penerbit Menara Kudus Ibrahim Mushtofa. Tanpa tahun. Al-Mu’jam al-Wasith. Kairo: Dar ad-Da’wah Muhammad Makki Nasr. Tanpa tahun. Nihayat al-Qaul al-Mufid fi Ilm at-Tajwid. Kairo: Maktabat as-Sofa

Mengenal Qiroat 10


Mengenal Qiroat 10 Suatu hari, boleh jadi anda tertegun mendengar seorang qori terkenal membaca Al Qur’an dengan bacaan yang asing. “Wadh-dhuhe... Wal-laili idza saje...” Setiap akhir ayat dalam surat Adh Dhuha tersebut dibaca “e” seperti orang menyebut senang, karena atau komputer. Keheranan anda tentu saja beralasan. Karena bacaan ini memang tidak populer di telinga kita mengingat bunyinya berbeda dengan yang kita pelajari selama ini. Tak heran, saat qori tersebut merekam suaranya dalam kaset di era 90-an dan beredar di tengah-tengah masyarakat menimbulkan pro dan kontra. Bacaan atau qiroah tadi dalam ilmu tajwid disebut imalah, atau lebih tepatnya disebut dengan imalah shugro atau taqlil menurut riwayat Warosy, yakni salah satu perawi Nafi bin Abdurrohman bin Abu Nu’aim Al Laitsi, seorang imam qiroat madzhab Madinah. Sejatinya, ada banyak ragam bacaan Al Qur’an. Rasululloh shollollohu alaihi wa sallam mengatakan bahwa Al Qur’an ini diturunkan dalam tujuh huruf. Sabda beliau, “Sesungguhnya Al Qur’an ini diturunkan dalam tujuh huruf. Maka, bacalah apa yang mudah darinya. “ (Muttafaq alaih dari Umar bin Khotthob rodhiyallohu anhu) Tujuh huruf ini bukan berarti tujuh macam bacaan. Karena, menurut para ulama, angka tujuh di sini bukanlah bilangan tertentu dalam arti sebenarnya, melainkan untuk menunjukkan suatu jumlah yang banyak. Ia mempunyai makna; keringanan, kemudahan, dan keluasan. Maksudnya, karena bangsa Arab (waktu itu) terdiri dari banyak suku dan kabilah, di mana masing-masing mempunyai sejumlah perbedaan dalam kosa kata dan logat, maka sangat terbuka kemungkinan adanya perbedaan dalam bacaan. Dan, inilah fleksibilitas Al Qur’an. Dari sinilah, muncul istilah qiroah sab’ah (qiroat tujuh) dan qiroah asyroh (qiroat sepuluh). Istilah qiroat ini disandarkan kepada imamnya. Misalnya, ada salah seorang imam qiroat bernama Ashim bin Abi An Najud Al Kufi, maka qiroatnya disebut qiroat Ashim. Dan, masing-masing imam ini mempunyai dua orang perawi yang meriwayatkan qiroat gurunya. Dalam contoh ini, yakni ragam bacaan yang biasa kita baca berdasarkan riwayat Hafsh bin Sulaiman, maka penyebutannya adalah riwayat Hafsh ‘an Ashim atau qiroaat Ashim riwayat Hafsh. Sedangkan standar keabsahan dari bacaan imam qiroat ini didasarkan atas talaqqi (penerimaan langsung) kepada generasi-generasi berikut dan sebelumnya. Karena itu, tingkatan sanad (jalur periwayatannya) terbagi atas 5 tingkatan, yaitu: Mutawatir, yaitu diriwayatkan sejumlah perawi dan bersambung sampai Nabi shollollohu alaihi wa sallam. Masyhur, yakni mempunyai sanad yang shohih, hanya saja perawinya tidak sebanyak perawi mutawatir. Ahad, yakni mempunyai sanad shohih, tapi tidak cocok dengan dengan Rosm (tulisan baku) utsmani atau kaidah bahasa arab. Qiroat ini tidak populer, hanya orang yang telah benar-benar mendalami ilmu qiroat yang dapat mengetahuinya. Syadz, yaitu tidak mempunyai sanad yang shohih, perawinya terputus, tidak sesuai dengan kaidah bahasa arab atau khot Utsmani. Qiroat ini sangat jarang yang menguasainya dan statusnya hanya sebagai ilmu pengetahuan, tidak sebagai pegangan. Maudhu artinya palsu yakni qiroah buatan yang tidak memiliki dasar dan sanad yang jelas. Nama Imam Qiroat Asyroh Nafi bin Abdurrohman bin Abu Nu’aim Al Laitsi (w. 169H), beliau imam qoriah madzhab Madinah. Perawinya Qolun, Abu Musa Isa bin Mina (w. 220H) dan Warosy, Utsman bin Sa’id Al Mishri (w.197) Ibnu Katsir, Abu Ma’bad Abdulloh ibnu Katsir Al Makki (w. 120H), beliau imam qoriah madzhab Mekah. Perawinya Al Bazzi, Ahmad bin Muhammad bin Abdulloh bin Abu Bazzah (w. 250H) dan Qunbul Muhammad bin Abdurrohman bin Muhammad Al Makhzumi (w. 291H) Abu Amr, Zabban bin Al ‘Ala bin Ammar (w.154H), beliau imam madzhab di Bashroh. Perawinya Ad Duri, Abu Amar bin Hafash bin Umar (w.246H) dan As Susy, Abu Syu’aib Sholih bin Ziyad As Susy (w. 261H) Ibnu Amir, Abdulloh bin Amir Al Yahshabi (w. 118H), imam madzhab qurro di Syam. Perawinya Hisyam bin Ammar Al Dimasyqi (w. 245H) dan Ibnu Dzakwan Abu Amir Abdulloh bin Ahmad bin Basyir bin Dzakwan Al Dimasyqi (w. 242H) Ashim, Abu Bakar bin Abun Najud Al Asadi (w. 128H), imam madzhab qurro’ di Kuffah. Perawinya Syu’bah, Abu Bakar Syu’bah bin Ayyasy bin Salim Al Asadi (w. 193H) dan Hafsh, Abu Amar Hafsh bin Sulaiman bin Al Mughiroh (w. 180H) Hamzah bin Hubaib Az Zayyat (w. 156H), imam madzhab qurro di Kuffah. Perawinya Kholaf, Abu Muhammad Kholaf bin Hisyam Al Bazzaz (w. 229H) dan Khollad, Abu Isa Khollad bin Kholid As Sairofi (w. 220H) Al Kisa’i, Abu Hasan Ali bin Hamzah Al Kisa’i (w. 189H), imam qiroat di Kuffah. Perawinya Abu Harits, Al Laits bin Kholid Al Baghdadi (w. 240H) dan Ad Duri yang juga perawi Abu Amr (w. 246H) Abu Ja’far, Yazid bin Al Qo’qo Al Makhzumi (w. 130H), beliau ulama qurro’ di Madinah. Perawinya Ibnu Wirdan, Abu Musa Isa bin Wirdan Al Madani (w. 160H) dan Ibnu Jammaz, Abdur Robi’ Sulaiman bin Muslim bin Jammaz (w.170H) Ya’qub, Abu Muhammad Ya’qub bin Ishaq Al Hadromi (w. 205H), beliau ulama madzhab Bashroh. Perawinya Rauh, Abu Hasan Rauh bin Abdul Mu’min bin Ubdah bin Muslim Al Hazali An Nahwi (w. 234H) dan Ruwais, Abu Abdulloh Muhammad bin Al Mutawakkil Al Lu’luil Bashroh (w. 238H) Khollaf bin Hisyam (w. 229H), ulama qurro’ di Kuffah. Perawinya Ishaq, Abu Ya’qub Ishaq bin Ibrohim bin Utsman bin Abdulloh Al Marwizi (w. 286H) dan Idris, Abu Hasan bin Abdul Karim Al Haddad Al Baghdadi (w. 292H) Contoh Aplikatif Qiroah Awalnya, bukan mustahil ada di antara kita membayangkan adanya perbedaan bacaan ini, baik pada qiroah sab’ah maupun qiroah asyroh, mencakup keseluruhan ayat. Ternyata tidaklah demikian. Tidak setiap kalimat atau ayat itu terdapat ikhtilaf (perbedaan bacaan) dan tidak setiap qori’ dari imam qiroat itu berbeda bacaan dengan yang lain. Adakalanya dalam satu imam itu tidak terjadi perbedaan bacaan di kalangan perawinya, dan adakalanya perbedaan itu lebih dari satu. Salah satu contoh adalah bacaan ارْكَب مَّعَنَا dalam surat Hud ayat 42. Dalam qiroat Asyroh; Abu Amr, Al Kisai dan Ya’qub membaca dengan idghom. Sementara Warosy, Ibnu Amir, Kholaf dan Abu Ja’far membaca dengan idzhar. Adapun Ibnu Katsir, Ashim, Qolun dan Khollad membaca dengan dua cara; idghom dan idzhar. Dan jika dibaca dengan idzhar maka dibaca dengan qolqolah. Pada contoh di atas Warosy yang merupakan perawi Imam Nafi membaca dengan idzhar, sementara perawi lainnya Qolun membaca dengan dua wajah, yakni idghom dan idzhar. Berikut ini contoh aplikatif qiroah sab’ah dalam surat Al-Fatihah. Pada ayat pertama; بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ tidak satupun imam qiroat berbeda pendapat perihal bacaan ayat ini. Artinya tidak boleh merubah sedikitpun, baik dari aspek harakat maupun hurufnya. Memang, di beberapa kitab tafsir, dijelaskan macam-macam alternatif bacaan pada ayat ini. Diantaranya bolehnya memfathahkan atau mendhommahkan “nun” dan “mim pada kata “ar-rohman” dan “ar-rohim”. Dalam kajian ilmu nahwu, variasi I’rob seperti ini masih bisa dibenarkan, dengan alasan semata analisis kalimat. Namun, dalam ilmu qiroat yang memiliki sanad mutawatir, ternyata tidak ada perbedaan bacaan “basmalah” tersebut dan tidak dibenarkan membaca di luar itu. Jadi, tujuh imam dan 14 perawinya membaca ayat tersebut secara sama. Demikian juga halnya pada ayat 2, 3 dan 5 pada surat al-Fatihah. Pada ayat 4; مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ para imam tujuh berbeda pendapat mengenai kata “maliki”, ada yang memanjangkan satu alif dan ada juga yang mengqoshor satu harakat. Imam Ashim dan Al Kisa’i membacanya panjang, sementara kelima imam yang lain membaca pendek. Kemudian, ayat 3 dan 4 apabila diwasholkan akan muncul dua wajh (variasi). Variasi pertama, dibaca seperti biasa, dan variasi kedua, dibaca dengan idghom kabir, yakni menjadikan pertemuan dua mim pada kalimat: الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ == sama panjangnya dengan mad lazim kilmi mutsaqqol, artinya harakat kasroh pada mim “ar-rohim” melebur pada mim “maliki” disertai panjang 6 harakat disertai pemberatan bacaan. Idghom kabir semacam ini hanya dijumpai dalam riwayat As-Susy yang merupakan perawi dari Imam Abu Amr. Pada ayat 6: اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ terdapat ikhtilaf pada kata “ash-shiroth”. Riwayat Qunbul pada bacaan Imam Nafi’ membaca “shod” dengan “siin” dan dua riwayat dari Imam Hamzah (Kholaf dan Kholad) membaca “shod” dengan isymam, yaitu menggabungkan bunyi “shod’ dengan “za’”. Jadi, ketika membaca ikhtilaf dari ayat ini, diperlukan pengulangan tiga kali; (1) bacaan biasa, (2) mengganti dengan “siin”, dan (3) membaca isymam. Pada ayat 7: صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ terdapat dua kata yang mengandung ikhtilaf, yaitu “shiroth” dan “mim jama”. Untuk bacaan isymam shod pada ayat ini hanya milik Kholaf, sementara Kholad semata-mata mengisymamkan ayat 6 saja, meski keduanya merupakan perawi dari Imam Hamzah. Selain itu, imam nafi’ riwayat Qolun, mendhommahkan mim jama dan memanjangkan satu alif, istilah ini disebut dengan “shilah”. Ini adalah wajh kedua dari Qolun, sementara wajh pertamanya sama dengan imam-imam yang lain, yakni mensukunkan mim jama’, istilah ini disebut “sukun”. Disamping itu pada bacaan Imam Hamzah, huruf ha’ yang jatuh sebelum mim jama’ harus dibaca “dhommah”, sehingga menjadi “alaihum”. Dengan demikian, untuk membaca ayat ini diperlukan lima kali pengulangan, yaitu: (1) bacaan biasa, (2), shad biasa dan shilah Qolun, (3) shod biasa dan ha’ dhommah dari Kholad, (4) mengganti shod dengan siin disertai shilah dari Qunbul, dan (5) isymam shod disertai ha’ dhommah dari Kholaf.

7 macam qiroat alfatihah


Pada Surat Al-Fatihah, terdapat perbedaan qiro’at yang tujuh pada ayat keempat, keenam, dan ketujuh. Perinciannya adalah sebagai berikut; Ayat yang keempat (مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ): Qira’at `Ashim dan Kisa’i akan membaca dengan menetapkan (itsbat) alif pada kalimat (مَالِكِ). Sedangkan Imam Qiro’at yang lain (Nafi`, Ibnu Katsir, Abu `Amr, Ibnu `Amir, dan Hamzah) akan membaca dengan tanpa (hadzf) alif. Dalil Syatibiyyah dalam bab Ummul Qur’an: وَمَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ (رَ)اوِيهِ (نَـ)ـاَصِرٌ Ayat ketiga (الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ) dan keempat (مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ): Rawi Susi membaca dengan idgham kabir pada kalimat (الرَّحِيمِ) yang disambungkan dengan (مَالِكِ) sehingga dibaca dengan satu mim (م) ter-idgham. Pada kasus ini ada huruf mad sebelum dua huruf serupa sehingga dibolehkan bagi Riwayat Susi untuk membaca dengan 2, 4, atau 6 harakat seperti mad `arid lissukun. Qiro’at lain akan membaca dengan izhhar. Dalil Syathibiyyah dalam perkara ini: وَدُونَكَ الاُِدْغَامَ الْكَبِيرَ وَقُطْبُهُ أَبُو عَمْرٍ والْبَصْرِيُّ فِيهِ تَحَفَّلاَ Ayat yang keenam (اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ): Qunbul dari Ibnu Katsir membaca kalimat (الصِّرَاطَ) dengan huruf sin (س) menggantikan atau badal untuk (ص). Dalilnya: وَعَنْدَ سِرَاطِ وَالسِّرَاطَ لِ قُنْبُلاَ بِحَيْثُ أَتَى Qiro’at Hamzah membaca dengan isymam shad (ص) kepada suara zay (ز). Dalilnya: وَالصَّادُ زَاياً اشِمَّهَا لَدَى خَلَفٍ وَاشْمِمْ لِخَلاَّدِ الاَوَّلاَ Imam lain membaca kalimat di atas dengan shad (ص) murni sesuai dengan rasm-nya. Ayat yang ketujuh (صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ): Pada kalimat (صِرَاطَ), Qunbul juga membaca dengan huruf sin dengan dalil yang telah disebutkan sebelum ini. Rawi Khalaf dari Hamzah membaca dengan isymam shad (ص) kepada suara zay (ز). Sedangkan untuk dua kalimat (عَلَيْهِمْ), perincian cara membacanya di antara para Imam Qurra adalah sebagai berikut: - Ibnu Katsir akan membaca silah mim jama` yaitu men-dhammah-kan dan menyisipkan waw maddiyyah setelahnya sehingga dibaca dua harakat ketika washal; sedangkan ketika wakaf akan dibaca sukun seperti lumrahnya. - Riwayat Qalun juga membaca seperti Ibnu Katsir, dengan tambahan wajah lainnya yaitu sukun seperti biasa. Dalil untuk kedua kasus ini ialah: وَصِلْ ضَمَّ مِيمِ الْجَمْعِ قَبْلَ مُحَرَّكٍ (دِ)رَاكاً وَقاَلُونٌ بِتَخْيِيرِهِ جَلاَ - Qira’at Hamzah membaca dhammah pada ha (هـ) dalam dua kondisi: waqaf maupun washal. Dalil Syathibiyyah-nya: عَلَيْهِمْ إِلَيْهِمْ حَمْزَةٌ وَلَدَيْهِموُ جَمِيعاً بِضَمِّ الْهاءِ وَقْفاً وَمَوْصِلاَ - Baqil Qurra’ (Imam yang lain yang belum disebutkan) akan membaca dengan kasrah ha (هـ) serta sukun mim jama` (م) sebagaimana biasa. Cara mengumpulkan bacaan (men-jama`); - Ayat pertama (بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ) dan kedua (الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ) dibaca dengan masing-masing berhenti pada ru’usul ayy (ujung ayat). Pada keduanya, bacaan Imam tujuh adalah serupa. - Ayat ketiga (الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ) dan keempat (مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ) dibaca bersambung dan berhenti pada ujung ayat keempat. Saat membaca ayat keempat, kata (مَالِك) dibaca hadzf terlebih dahulu. Cara washal ini adalah untuk menunjukkan (metoda waqaf-ibtida’ intizhari) adanya kasus qiro’at pada peralihan antara ayat ketiga dan keempat (idgham kabir oleh Rawi Susi, akan dijelaskan). Dengan demikian, bacaan Nafi`, Ibnu Katsir, Duri `an Abu `Amr, Ibnu `Amir, dan Hamzah sudah terpenuhi. - Ayat keempat (مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ) dibaca lagi, namun kali ini pada kata (مَالِكِ) dibaca dengan itsbat alif (ا). Dengan demikian, bacaan `Ashim dan Kisa’i terpenuhi. - Ayat ketiga (الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ) dan keempat (مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ) dibaca bersambung. Pada pertemuan kata (الرَّحِيمِ) dan (مَالِكِ) dilakukan idgham mim (م) akhir ayat ketiga ke dalam mim (م) awal ayat keempat. Saat membaca ayat keempat, kata (مَالِك) dibaca hadzf alif (ا). Dengan demikian bacaan Susi `an Abu `Amr sudah terpenuhi. Ayat ketiga serta keempat sudah komplit tujuh qira’at. - Ayat kelima (إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ) dibaca. Tidak ada khilaf bacaan pada ayat ini. - Ayat keenam (اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ) dibaca dengan mula-mula mengucapkan shad (ص) yang murni pada kata (الصِّرَاطَ). Dengan demikian, bacaan Nafi`, Al-Bazzi `an Ibnu Katsir, Abu `Amr, Ibnu `Amir, `Ashim, dan Kisa’i sudah terpenuhi. - Ayat keenam (اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ) dibaca ulang dengan huruf sin (س) pada kata (الصِّرَاطَ). Ini bacaan Qunbul `an Ibnu Katsir. - Ayat keenam (اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ) dibaca lagi, kali ini dengan isymam shad (ص) kepada suara zay (ز) pada kata (الصِّرَاطَ). Ini melingkup bacaan Hamzah sehingga selesailah semua bacaan tujuh qira’at di ayat keenam. - Ayat ketujuh (صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ) dibaca lima kali dengan urutan rincinya: 1. Dibaca sesuai dengan rasm. Dengan ini terkumpul bacaan Nafi`, Abu `Amr, Ibnu `Amir, `Ashim, dan Kisa’i. 2. Dibaca dengan silah mim jama` pada dua kata (عَلَيْهِمْ). Dengan demikian, bacaan Qalun `an Nafi’ (wajah kedua), Al-Bazzi `an Ibnu Katsir terpenuhi. 3. Dibaca dengan dhammah ha (هـ) pada kedua kata (عَلَيْهِمْ) sebagai bacaan Khallad `an Hamzah. 4. Dibaca dengan sin (س) pada kata (صِرَاطَ) serta silah mim jama` pada kedua (عَلَيْهِمْ) sebagai bacaan Qunbul `an Ibnu Katsir. 5. Dibaca dengan isymam shad (ص) kepada suara zay (ز) pada kata (صِرَاطَ) serta dhammah ha (هـ) pada kedua kata (عَلَيْهِمْ) sebagai bacaan Khalaf `an Hamzah. Cara membaca yang dirinci di atas juga disebut dengan istilah Jama` Kubra untuk Qiroa’t Sab`ah dari Thariq Asy-Syathibiyyah. Dengan metoda ini (kaidah jama` yang dirumuskan oleh Syaikh As-Safaqasi) selesailah tujuh macam bacaan pada Surat Al-Fatihah. Harap dicatat bahwa pembacaan qiro’at dengan jama` adalah guna majelis pembelajaran (bukan untuk digunakan shalat ataupun bacaan Al-Qur’an yang menjadi bagian dari suatu syarat ibadah spesifik). Kaidah jama` ini dilakukan setelah talaqqi riwayat per riwayat, qiro’at satu per satu untuk kemudian barulah dibolehkan menggabungkan semua qiro’at yang telah dipelajari dalam sekali membaca sebagai bentuk pelengkap penguasaan qiro’at. Rujukan: - Hirzul Amani wa Wajhut Tahani - Ibraz Ma`ani min Hirzil Amani - Al-Minahul Ilahiyyah fi Jam`i Al-Qiro’at As-Sab`i min Thariq Asy-Syathibiyyah - Ghunyah Ath-Thalabah fi Taysiris Sab`ah - Kaidah Qira’at Tujuh - Manhaj Qiraat 10

qiroat hamzah surat adzariat sampai asy syamsi


نوروا منازلكم بقرائت القرأن
imam hamzah al kufi
Nama sebenar beliau ialah Hamzah bin Habib bin ‘Immarah. Beliau merupakan Imam Qiraat di Kuffah selepas kewafatan Imam ‘Asim. Beliau dilahirkan pada tahun 80 hijrah dan wafat pada tahun 156 hijrah di Kufah. Beliau mempelajari Qiraat daripada Abu Muhammad Sulaiman bin al-A’masy daripada Abu Muhammad Yahya bin Wathab al-Asadi daripada Abu Syibil ‘Alqamah bin Qis daripada Abdullah bin Mas’ud daripada Rasulullah s.a.w.
Ramai yang telah mengambil bacaan daripada Imam Hamzah ini. Antara perawi yang termasyhur ialah Khalaf dan Khallad.
a. Khalaf
Nama sebenar beliau ialah Kholaf bin Hisyam bin Tha’lab. Nama gelaran beliau ialah Abu Muhammad. Beliau merupakan seorang yang thiqah, Zuhud dan ‘Alim. Beliau dilahirkan pada tahun 150 Hijrah dan wafat pada tahun 229 Hijrah di Baghdad.
b. Khallad
Nama sebenar beliau ialah Khallad bin Khalid As-Syaibani. Beliau dilahirkan pada tahun 130 Hijrah dan wafat pada tahun 220 Hijrah di Kuffah. Beliau merupakan seorang imam qiraat yang thiqah dan sangat mengetahui mengenai kebenaran.

juz 27
surat adz dzariat
surat at thur
surat an najm
surat al qomar
surat al rohman
surat al waqiah
surat al hadid

juz 29
surat al mulk
surat al al qolam
surat al haqoh
surat al ma'arij
surat nuh
surat al jin
surat al muzamil
surat al mudasir
surat al qiyamah
surat al insan
surat al mursalat
juz 30
surat an naba
surat an naziat
surat abasa
surat at takwir
surat alinfithor
surat al mthofifin
surat al insyiqoq
surat al buruj
surat ath thoriq
surat al a'la
surat al al ghoshiyah
surat al fajr
surat al balad
surat asy syamsi
next
kitab rujukan
كتاب الاقناع في القرائة السبع
الكامل في القرائت العشر والاربعين الزائدة عليها
اتحاف فضلاء البشر في القرائت الاربعة عشر
كيتاب السبعة في القرائت
الوجيز في شرح قرائت القراءة الثمانية ائمة الامصار الخمسة
كتاب التبصرة في القرائت السبع
التيسر في القرائت السبع
التذكرة في القرائت الثمان